Rabu, 15 Oktober 2014


Makam Sultan Iskandar Muda


Makam Sultan Iskandar Muda – Bagi masyarakat Aceh tentunya sudah kenal dengan Sultan Iskandar Muda? Sultan yang arif dan bijaksana ini merupakan tokoh yang sangat penting dalam masa kesultanan Aceh dan bahkan beliau merupakan sultan terbesar dalam sepanjang sejarah kesultanan Aceh yang di pimpinnya pada tahun 1607 sampai tahun 1636.

Lokasi dan Transportasi

Makam Sultan Iskandar Muda sekarang dapat ditemukan di dalam komplek baperis, kelurahan peuniti, kecamatan baiturrahman, banda Aceh. Untuk menuju lokasi wisata sejarah makam Sultan Iskandar Muda ini cukuplah gampang, walau tidak ada angkutan umum atau biasa masyarakat Aceh menyebutnya labi labi yang melintas ke jalan ini, namun pengunjung bisa naik labi labi untuk lebih mendekati lokasi ini.

Dengan tarif sebesar Rp 2.000*), Pengunjung bisa memilih naik labi labi dengan jurusan terminal keudah – lambaro, jurusan terminal keudah – seulimum, jurusan terminal keudah – indrapuri atau jurusan terminal keudah – montasik.

Rute jalan yang dilewati labi labi ini mulai dari terminal keudah menuju jalan cut mutia, dilanjutkan ke jalan tepi kali dan menuju ke jalan inpres. Kemudian menuju jalan diponegoro, lalu ke jalan sultan mahmudsyah dan ke jalan Teuku cik di tiro.

Di persimpangan antara jalan sultan mahmudsyah dan jalan Teuku Cik di tiro ini pengunjung dapat turun di dekat jembatan dan di sebelah kanan jalan persis setelah jembatan akan ada jalan kecil lurus yang beraspal, pengunjung tinggal berjalan kaki menelusuri jalan aspal lurus tersebut, tidak begitu jauh berjalan maka pengunjung akan tiba di komplek makam Sultan Iskandar Muda yang berada di sebelah kiri jalan.

Alternatif angkutan lainnya, pengunjung dapat menggunakan becak motor, dengan tarif yang di pasang sekitar Rp 7.000*), maka pengunjung akan diantar ke lokasi makam dengan waktu yang lebih cepat.

Sejarah Singkat

Pada masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda mampu menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan dunia dan menjadikan Aceh peringkat lima kerajaan islam terbesar di dunia. Tak heran jika pada masa itu, Aceh menjadi tempat pembelajaran agama islam di dunia.

Sultan Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul Kamal yang merupakan leluhur dari sisi ibu, sedangkan dari leluhur ayah adalah keturunan dari Raja Makota Alam. Kedua kerajaan itu dulunya berdekatan yang hanya dipisahkan oleh sungai. Iskandar muda lah yang akhirnya berhak sendiri atas tahta dari ke dua kerajaan itu. Ke dua kerajaan itu akhirnya bergabung dan inilah awal mula berdirinya kerajaan Aceh Darussalam.

Sultan Iskandar Muda menikah dengan dengan seorang putri yang berasal dari kesultanan Pahang yang bernama Putro Phang dan memiliki seorang putra yang bernama Meurah Pupok dan seorang putri yang bernama Puteri Seri Alam. Sang sultan sangat mencintai istrinya dan karena cinta nya inilah awal dibangunnya sebuah gunongan di taman istana.

Pembangunan gunongan itu dibuat untuk menyenangkan hati istrinya yang sedang sedih karena rindu dengan kampung halaman. Itulah wujud bukti cinta yang diberikan Sultan Iskandar Muda kepada istrinya putro phang.

Keadilan yang dijunjung tinggi oleh Sultan Iskandar Muda ini juga pernah di buktikannya, walau terhadap anaknya sendiri. Beliau membunuh putranya sendiri yang bernama meurah pupok karena melakukan kesalahan yang membuat malu kerajaan.

Meurah pupok dituduh melakukan perzinahan dengan istri orang, perzinahan ini diketahui oleh suaminya yang lalu membunuh istrinya, lalu suaminya pergi menghadap sang sultan untuk mengadukan kejadian ini, setelah itu suaminya pun bunuh diri di hadapan sultan.

Melihat kejadian itu sang sultan pun marah dan langsung mencari anaknya meurah pupok, saat berhasil menemukan anaknya sang Sultan Iskandar Muda pun langsung mencabut pedang dan membunuh putranya. Itulah bukti keadilan yang ditegakkan oleh Sultan Iskandar Muda. Sampai akhirnya beliau wafat dan kepemimpinan diteruskan oleh menantunya, yaitu sultan iskandar tsani.

Wisata

Makam beliau sangat terawat dan bersih, terdapat pagar pembatas yang mengelilingi makam Sultan Iskandar Muda ini serta ditambah atap yang memiliki tingkat tiga menambah kesan makam ini sangat megah. Ukiran ukiran kaligrafi yang terdapat sepanjang sisi makam menambah kesan islami yang pernah berjaya pada masa kepemimpinannya.

Di luar pagar makam tepatnya disamping makam terdapat pohon besar yang rindang, membuat suasana sekitar tetap sejuk walau cuaca sedang panas. Di bawah pohon terdapat pula meriam yang diletakkan menghadap ke arah depan jalan masuk makam, menambah kesan betapa hebatnya Sultan Iskandar Muda ini dalam masa kepemimpinannya.

Di depan pintu masuk makam terdapat tugu yang menceritakan kisah singkat tentang makam Sultan Iskandar Muda sebagai pahlawan nasional dan dari lapangannya yang sudah di beri keramik ini terlihat jelas nama Sultan Iskandar Muda pada tugu di sebelah kanan bangunan.

Kebanyakkan dari wisatawan yang berkunjung ketempat ini bertujuan untuk berziarah untuk mengenang seorang tokoh besar baik dalam bidang agama ataupun pahlawan di kota yang memiliki julukkan serambi mekah ini. Tak hanya berziarah, tentunya mereka juga mengirimkan doa kepada sang Sultan.



Makam ini, juga berdampingan dengan beberapa makam pahlawan lainnya, jadi selain berziarah ke makam sang Sultan, anda juga bisa mengunjungi makam dari beberapa pahlawan Indonesia.











                      Mengenang Sejarah Benteng Indra Patra


BENTENG INDRA PATRA

 

Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan bermotor.

  

Benteng  ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.

 

Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.

 

Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba. Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut.

 

Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai sekitar 2 meter.  Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari “beton kapur” (: susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).

 

Didalam benteng Utama terdapat dua buah “stupa” atau bangunan yang menyerupai kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.

 

Benteng merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya ada kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya. Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid Raya, jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Kr Raya.

 

Sebagai situs bersejarah, keberadaan Benteng Indra Patra tentu perlu dijaga. Dari segi fisik, secara alami bangunan akan mengalami kerusakan digerus alam. Hujan, panas, pengambilan material oleh masyarakat akan membuat bagian-bagian benteng runtuh perlahan-lahan. Dinding mengelupas, batu pondasi berjatuhan satu persatu. Lama kelamaan bentuk aslinya tidak kelihatan lagi.

 

Dari segi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum tentu tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.

 

Untuk menyelamatkan situs bersejarah itulah, Aceh Heritage Community (AHC) bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur Jakarta (PDAJ), mengadakan survei Benteng Indra Patra, 20-21 Desember. Dua orang dari PDAJ yaitu Kemal, seorang arsitek, dan Ivan, seorang arkeolog, menemani 10 orang dari AHC.

 

Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.

 

Tim bergerak menyusuri sudut demi sudut, mencatat fisik bangunan yang mereka lihat. Mereka mencatat mulai dari warna bebatuan, model menara yang ada, berapa banyak lubang bidik untuk meriam yang masih utuh, apakah ada ruang bawah tanah dan banyak lagi hal lainnya. Anggota AHC membuat sketsa benteng Indra Patra untuk mencatat bentuk asli bangunan.

 

Ivan, arkeolog asal Jakarta mengatakan banyak benteng-benteng di Indonesia yang mengalami kerusakan parah. Pemerintah daerah setempat tidak peduli dengan keberadaan benteng. Kalau pun ada renovasi, banyak perbaikan yang dilakukan tidak sesuai dengan kaidah bangunan bersejarah. "Saya pernah menemukan benteng tua di Maluku yang diplester dengan dinding semen. Itu merusak keaslian benteng, mana ada semen zaman dahulu" katanya. Padahal turis ataupun pengunjung sangat menyukai keaslian bangunan sejarah.

 

Ketua AHC, Yenni Rahmayanti menambahkan renovasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh melakukan renovasi benteng Indra Patra tidak sesuai dengan kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah keasliannya. "Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujarnya.

 

Memang jika kita perhatikan, sebagai contoh papan informasi penunjuk sejarah tidak ada di tempelkan. Ada juga hal lain yang menyedihkan terkait dengan keberadaan benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng untuk keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas reruntuhan benteng.

 

Survei Benteng Indra Patra bukan saja mencatat fisik bangunan tetapi juga mengumpulkan kisah-kisah sejarah seputar benteng. Tim melakukan studi pustaka dan wawancara dengan masyarakat sekitar untuk menggali cerita-cerita seputar Benteng Indra Patra. "Yang paling menarik dari bangunan sejarah adalah cerita seputar situs tersebut, ini yang paling menarik minat pengunjung" katanya.

 

Benteng Indra Patra dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.

 

Sebagai masyarakat yang menghargai sejarah sudah selayak benteng Indra Patra di rawat dan dilestarikan. Jangan sampai nanti orang-orang hanya bisa berkata sambil menunjuk ke arah reruntuhan.


Foto Benteng Indra Patra Yang tinggal Reruntuhan















 

Anda memiliki ketertarikan terhadap situs-situs peninggalan sejarah? Bagi Anda yang gemar mengunjungi objek wisata sejarah, sebaiknya Anda juga mengunjungi salah satu situs peninggalan kerajaan hindu ini. Benteng Indra Patra.

            Benteng Indra Patra berlokasi di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi  benteng peninggalan Kerajaan Hindu pertama di bumi Aceh ini dekat dengan Pantai Ujong Batee.

            Benteng yang berada di Teluk Krueng ini merupakan nagian dari 3 benteng dalam Trail Aceh Lhee Sagoe. Trail Aceh Lhee Sagoe sendiri merupakan wilayah yang menghubungkan tiga peninggalan zaman Hindu-Budha di Aceh. Akan terbentuk sebuah segitiga yang disebut Trail Aceh Lhee Sagoe jika tiga peninggalan itu yakni Indrapatra, Indrapuri, dan Indrapurwa dihubungkan.

            Secara historis, benteng ini dibangun oleh Putra Raja Harsa dari Kerajaan Lamuri pada abad ke-7 Masehi. Seca fisik, bentuk benteng ini terbilang besar yang tersusun dari batu gunung setebal 2 meter. Batu-batu gunung itu direkatkan oleh lem perekat berupa campuran kapur, tanah liat, putih telur, dan tumbukan kulit kerang. Kekokohan benteng ini ampuh dijadikan sebagai benteng pertahanan menghadapi armada Portugis pada masa Kesultanan Aceh Darussalam.

            Untuk menuju Banteng Indra Patra tidak ada angkutan khusus yang disediakan. Tapi Anda tidak perlu khawatir, jika Anda berangkat dari Banda Aceh jarak menuju benteng ini hanya sekitar 19 kilometer . Anda bisa menggunkan jasa angkutan umum bernama labi-labi jurusan Banda Aceh-Krueng Raya, dan hanya membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, Anda akan menghabiskan waktu sekitar 35 menit.Ayo nikmati wisata sejarah yang menarik di tanah Serambi Mekah ini!


 







 

Aceh yang sangat kental dengan budaya Islam mungkin cocok untuk Anda berlibur di bulan Ramadan. Seperti bangunan Benteng Indrapatra, inilah bentang sejak masa Hindu yang juga berperan penting di masa kerajaan Islam.

Siapa sangka, Aceh dengan syariat Islam yang getol, ternyata memiliki kaitan sejarah dengan Hindu. Agama ini merupakan agama pertama kali masuk ke Aceh yang dibawa langsung oleh bangsawan dari India Selatan.

Para bangsawan dari India tidak sengaja menemukan Aceh dalam perjalanannya untuk menyelamatkan diri dari konflik berdarah di negeri sendiri. Sesampai di Aceh, mereka kemudian mendirikan kerajaan dan menyebarkan agama Hindu kepada penduduk pribumi.

Sejarah menyebutkan, bahwa agama Hindu masuk ke Aceh sejak abad ke-7 Masehi. Goresan sejarah Hindu di Aceh masih dapat ditemukan melalui beberapa jejak peninggalan di Aceh. Benteng Indrapatra merupakan salah satu jejak sejarah yang berada di Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini sengaja dibuat agar musuh tidak bisa menerobos masuk ke daratan Aceh.

Untuk menuju ke lokasi benteng ini, traveler harus menempuh perjalanan sekitar 19 km dari pusat ibukota Banda Aceh. Lalu berjalan ke arah timur dan Anda akan memasuki Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar. Bentengnya tepat berada di bibir pantai. Keren!

Awalnya, lokasi ini terdapat 3 bangunan benteng. Namun kini hanya tersisa 2 bangunan yang masih berdiri dan sangat disayangkan karena beberapa kontruksi bangunan sedikit hancur. Bangunan utama seluas 70x70 m, di dalam bangunan utama itu terdapat 2 stupa dengan kubah di atasnya.

Di dalam stupa ini terdapat sumur yang digunakan untuk ritual umat Hindu dalam membersihkan diri. Para ahli sejarah mengatakan, selain sebagai tempat pertahanan, benteng ini juga digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu.

Tak jauh dari bangunan utama, terdapat bangunan benteng yang luasanya lebih kecil dari benteng utama. Setiap sisi dinding terdapat lubang-lubang sebesar 50x50 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meriam. Kemudian, bagian tengah dari benteng ini terdapat ruang penyimpanan amunisi.

Setelah Hindu, muncul kerajaan Islam yang pada masa keemasan dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini, benteng tetap digunakan sebagai basis pertahanan melawan Portugis. Sultan Iskandar Muda menugaskan Laksamana Malahayati seorang laksamana perempuan pertama di dunia untuk memimpin pasukan di wilayah basis pertahanan ini.

Benteng ini merupakan benteng yang dibangun oleh kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh. Walaupun akhirnya Islam mendominasi di Aceh, tetapi Sultan dan Ratu yang memimpin Aceh tidak pernah menghancurkan jejak peninggalan nenek moyangnya.

Ada pepatah menyebutkan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya". Mungkin pepatah ini bisa menjadi salah satu pembenaran Aceh menjadi bangsa yang besar pada saat kesultanan.

Jika traveler ingin menikmati bangunan sejarah ini, Anda bisa menempuh perjalanan selama 30 menit dari kota Banda Aceh. Lalu berjalan ke arah Krueng Raya. Kemudian dari sisi kiri, Anda akan menemukan plang nama lokasi benteng.

Jika naik angkutan umum, ongkos menuju lokasi ini sekitar Rp 5.000-Rp 10.000 saja. Selain menyusuri bangunan benteng, Anda juga bisa melipir sejenak ke tepian pantai sekitar benteng ini.




Tidak ada komentar: