Rabu, 19 November 2008

SEJARAH ATJEH

 



Beberapa sumber menyebutkan tentang asal usul kerajaan Aceh. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa kerajaan Aceh merupakan campuran orang Arab, Parsi, dan Turki. Sejarawan Melayu menceritakan bahwa kerajaan Aceh dari salah seorang raja dari Campa, yaitu Syah Pu Liang (Ling) yang diusir oleh bangsa Vietnam sekitar 1471. Ia berlindung di Aceh dan membentuk wangsa baru. Sedangkan menurut hikayat Aceh mengisahkan bahwa kerajaan Aceh muncul karena bersatunya dua permukiman: Meukuta Alam dan Darul Kamal "

Aceh pernah menjadi sebuah negara yang paling berpengaruh dan cemerlang di nusantara di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar disemua pelabuhan penting di pantai Barat Sumatera dan pantai Timur, sampai ke Asahan di Selatan. Pelayaran penaklukan dilancarkan jauh sampai ke Pahang, di pantai Timur Semenanjung Malaya, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaan kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan yang tiada tara saat itu.



A. Pendahuluan



Aceh pernah menjadi surga penelitian, mengingat masa lampaunya yang cemerlang. Valentijn merupakan salah seorang yang sangat menaruh perhatian terhadap sejarah Aceh. Kemudian diikuti oleh William Marsden, yang membawa beberapa naskah Aceh ke Eropa sebagai acuan bukunya, History of Sumatra. Sesudah itu muncul pula beberapa nama penulis Eropa lain, seperti E. Jacquet, Ed. Dulaurier, T. Braddell, J. Anderson, H.C. Millies, dan van Langen. Penelitian ini dilakukan oleh sejarawan mengingat kerajaan Aceh pernah menjadi kerajaan besar di nusantara. Aceh mulai disebut-sebut oleh pedagang dan pengelana asing sejak abad XVI. Bangsa asing yang sering ke Aceh adalah Portugis, Belanda, Inggris, Italia, Prancis, China, Arab, dan India. Kota Aceh sangat luas, kata Nicolaus de Graaff (Belanda), kira-kira 2 mil (15 km2). Mil adalah ukuran yang dipakai di Jerman dan Belanda. Jumlah rumah yang ada di Aceh pada masa itu menurut William Dampier (Inggris) sekitar 7.000 hingga 8.000 unit. Raja Aceh yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan ini banyak membangun masjid.

Dampier melaporkan masjid di Aceh berciri khusus, berbeda dengan yang ada di Timur Tengah dan Turki. Pada abad XVII Aceh pernah memiliki seorang ulama besar, Syekh Abdurrauf dari Singkil. Dia menulis sebuah karya agung Umdat al-Muhtajin. Setelah meninggal, dia mendapat nama anumerta Teungku di Kuala atau Teungku Syiah Kuala, karena makamnya terletak dekat Sungai Aceh. Selain Abdurrauf, Aceh juga memiliki Syekh Hamzah Fansury, Syamsuddin As-Sumaterani dan Nuruddin Ar-Raniri.

Beberapa sumber menyebutkan tentang asal usul kerajaan Aceh. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa kerajaan Aceh merupakan campuran orang Arab, Parsi, dan Turki. Sejarawan Melayu menceritakan bahwa kerajaan Aceh dari salah seorang raja dari Campa, yaitu Syah Pu Liang (Ling) yang diusir oleh bangsa Vietnam sekitar 1471. Ia berlindung di Aceh dan membentuk wangsa baru. Sedangkan menurut hikayat Aceh mengisahkan bahwa kerajaan Aceh muncul karena bersatunya dua permukiman: Meukuta Alam dan Darul Kamal. Sumber lain menyebutkan bahwa pendiri kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Syah.



B. Asal Mula Kerajaan Aceh



Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan asal mula muncul istilah kerajaan Aceh Darussalam. Anas Machmud, seperti dinukilkan Badri Yatim, berpendapat bahwa kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M).[2] Dia yang membangun kota Darussalam.[3] Menurutnya, pada masa pemerintahan Muzaffar Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Protugis (1511 M).[4] Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis tersebut, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke Utara melalui selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Berbeda pendapat dengan Anas Machmud, H.J. de Graaf mengatakan kerajaan Aceh Darussalam merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu kerajaan Lamuri dan Atjeh Darul Kamal, sedang Sultannya Ali Mughayat Syah.[5]

Ali Mughayat Syah, menurut Graaf, telah melakukan ekspansi wilayah kekuasaan meliputi Pidie yang bekerja sama denga protugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangan terhadap kedua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah sumatera Timur, sultan Aceh mengirim panglima-panglima, salah seorang di antaranya adalah Gocah pahlawan yang menurunkan Sultan Deli dan Serdang.[6] Namun yang membesarkan nama kerajaan Aceh Darussalam menurut versi ini bukanlah sultan Ali Mughayat Syah tetapi Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara Islam yang lain di Nusantara.[7]

Adanya kesamaan versi sejarah asal mula kerajaan Aceh Darussalam yang ditulis oleh Badri Yatim dengan Edi S. Ekadjati. Menurut Edi S. Ekadjati kerajaan Aceh Darussalam merupakan kelanjutan dari kerajaan Lamuri. Pada abad XV Masehi peranan kerajaan Lamuri hilang dari panggung sejarah. Bekas kerajaan Lamuri terpecah atas beberapa negeri yang masing-masing berdiri sendiri. Negeri-negeri itu ialah Darul Kamal, Meukuta Alam, Aceh (Darussalam), Darul Dunia, Pedir dan Daya. Di antara negeri-negeri tersebut sering terjadi pertentangan politik dan bentrokan senjata. Namun pada permulaan abad XVI Masehi di Aceh muncul seorang tokoh kuat yang dapat mempersatukan kembali wilayah kerajaan Lamuri, yaitu Ali Mughayat Syah, putera Sultan Syamsu Syah dari Aceh.[8]

Sultan Ali Mughayat Syah inilah yang dapat dianggap sebagai sultan yang pertama dari kerajaan Aceh dan pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya, serta ia pulalah yang meletakkan dasar yang kuat bagi perkembangan kerajaan Atjeh selanjutnya. Keberhasilannya tersebut tidak terlepas dari bantuan adiknya Raja Ibrahim.[9] Tanggal yang pasti kapan Sultan Ali Mughayat Syah naik tahta tidak diketahui, tetapi nisan makamnya ditemukan dengan tanggal wafat tujuh Agustus 1530.[10]

Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan Sultan Ali Mughayat Syah naik tahta, tetapi kenaikan sultan itu hampir bersamaan dengan kedatangan orang-orang Portugis di sekitar Selat Malaka. Pada tahun 1511 Malaka diduduki Portugis dan mereka berusaha memblokir seluruh lalu lintas internasional di Selat itu. Kondisi ini mendorong Ali Mughayat Syah mengambil alih kekuasaan dari ayahnya Sultan Syamsu Syah dan bersama-sama dengan adiknya Raja Ibrahim mengatur sebuah program pemerintahan yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Ø Mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh Besar yang akan dijadikan inti kerajaan Aceh yang kuat dan merdeka yang selanjutnya akan diperluas dengan daerah-daerah di tepi Selat Malaka.

Ø Mengusir bangsa Portugis dari daerah-daerah sepanjang Selat Malaka dan selanjutnya merebut Malaka dari tangan Portugis agar kekuasaan tunggal atas lalu lintas internasional di Selat Malaka berada sepenuhnya ditangan kerajaan Aceh.

Ø Untuk mengeimbangi semangat menjajah Portugis yang menyala-nyala maka di kalangan rakyat Aceh dibangun dan dibangkitkan semangat jihad dengan menggalakkan pengajaran agama Islam dikalangan rakyat.[11]

Program-program tersebut telah berhasil dilaksanakan sebagaimana yang terdapat pada sumber-sumber Portugis yang menyebut kemenangan-kemenangannya; Ali Mughayaat Syah telah berhasil menaklukkan Deli, Daya, lalu Pedir dan Pasai (1524); pada bulan Mei 1521 ia mengalahkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas; pertempuran itu yang pertama dalam perang yang bakal berlangsung selama bangsa Portugis berada di Malaka, yaitu 120 tahun.[12]

Selama masa pemerintahannya, Sultan Ali Mughayat Syah berdaya upaya untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan negaranya. Keutuhan wilayah Aceh tetap dipertahankan. Berulang kali armada Portugis yang akan mengacaukan perairan Aceh dipukul mundur. Ketertiban dan keamanan masyarakat terus dipupuk dan hubungan dagang secara langsung dengan negeri-negeri Arab diadakan.[13]

Akan tetapi, amat disayangkan bahwa dasar-dasar pembangunan negara tersebut tidak dapat dilanjutkan oleh anaknya Sultan Salah ad-Din yang menggantikannya. Dalam hikayat Aceh diceritakan bahwa Salah ad-Din seorang raja yang tidak menghiraukan pemerintahan, dia hanya memikirkan kesenangan pribadi. Urusan pemerintahan dia serahkkan kepada pembantunya. Kelemahan tersebut diketahui oleh Alauddin Riayat Syah, anak bungsu Ali Mughayat Syah, sehingga mendorong dia untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Salah ad-Din.



C. Kesimpulan

Aceh pernah memiliki sebuah negara yang berbentuk kerajaan dan mempunyai pengaruh besar di nusantara. Puncak kemegahan dan kejayaannya terlihat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ada beberapa hal yang membuat kerajaan Aceh terkenal dan selalu menjadi bahan penelitian selama berabad-abad, di antaranya sistem kepemimpinan yang adil, struktur pemerintahan yang rapi, dan adanya kombinasi antara adat dan hukum Islam.

Add caption